Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Qamy akan klasifikasikan subjek pajak terhadap TKI
KRITERIA TKI
1.Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2.Subjek Pajak Luar Negeri
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor PER-2/PJ/2009, Pasal 1 menyatakan bahwa Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Maka Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut adalah Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).
Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jika TKI berada di luar negeri selama lebih dari 183 hari dalam 1 tahun pajak maka tidak ada kewajiban lapor SPT di indonesia.
DASAR HUKUM PAJAK UNTUK TKI
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sttd Undang-Undang No. 16 Tahun 2009
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sttd UU No 36 Tahun 2008
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia Di Luar Negeri
OBJEK PAJAK UNTUK TKI
Penghasilan dari TKI dapat dikelompokkan menjadi:
- Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya
- penghasilan dari usaha dan kegiatan
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah
HAK TKI ATAS PAJAK
- Hak atas kelebihan pembayaran pajak
- Hak ketika dilakukan pemeriksaan
- Hak mengajukan Keberatan, Banding, Gugatan dan Peninjauan Kembali
- Hak atas kerahasiaan data wajib pajak
- Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak
- Hak untuk menunda pelaporan SPT
KEWAJIBAN TKI YANG HARUS DIPENUHI
- Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
- Melakukan pencatatan penghasilan
- Menyimpan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan
- MelaporkanSPT Tahunan
DASAR PENGENAAN PAJAK
Secara umum Dasar Pengenaan Pajak TKI dengan statusnya sebagai SPDN atas penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium adalah penghasilan neto sesuai dengan ketentuan PPh.
Untuk menghitung pajak atas keseluruhan penghasilan yang diperoleh TKI, pajak yang dipotong di luar negeri dapat menjadi pengurang atau kredit pajak dengan penghitungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Untuk Dasar Pengenaan Pajak TKI dengan statusnya sebagai SPLN yang memperoleh penghasilan dari Indonesia adalah penghasilan bruto sesuai dengan Pasal 26 UU PPh.
DASAR PENGENAAN PAJAK
STUDY KASUS
Pada tahun 2019, Tuan David (laki-laki, menikah, 3 anak) bekerja sebagai konsultan konstruksi di Malaysia selama 3 bulan. Penghasilan neto yang diterimanya dari Malaysia sebesar Rp50.000.000 dan telah dipotong pajaknya sebesar Rp5.000.000. Selain itu, Tuan David juga bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Wijaya Karya di Indonesia. Penghasilan neto yang diterimanya dari PT Wijaya Karya selama tahun 2019 sebesar Rp150.000.000 dan telah dipotong pajaknya sebesar Rp6.700.000.
Dalam kasus ini, Tuan David masih berstatus sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri karena beliau bekerja di luar negeri kurang dari 183 hari dalam waktu 12 bulan. Berikut adalah perhitungan pajak penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Tuan David:
Penghasilan Neto dari Malaysia | 50.000.000 |
Penghasilan Neto Dalam Negeri | 150.000.000 |
Penghasilan Neto | 200.000.000 |
PTKP (K/3) | (72.000.000) |
Penghasilan Kena Pajak | 128.000.000 |
PPh Terutang: |
|
|
5% x Rp50.000.000 | = Rp 2.500.000 |
|
15% x Rp78.000.000 | = Rp11.700.000 |
|
|
| Rp14.200.000 |
Kredit Pajak: |
|
|
PPh Pasal 21 | = Rp 6.700.000 |
|
PPh Pasal 24 |
|
|
Rp 50.000.000 x Rp14.200.000 | = Rp 3.550.000 | (Rp10.250.000) |
Rp200.000.000 |
|
|
|
|
|
PPh Kurang Dibayar |
| Rp 3.950.000 |
(harus disetor sendiri oleh Tuan David) |
|
|
Catatan
Dari penghitungan tersebut di atas kredit pajak luar negeri sesuai dengan UU PPh Pasal 24 yang diperbolehkan adalah sebesar Rp3.950.000, bukan sebesar Rp5.000.000 sebagaimana yang telah dipotong di Malaysia. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di luar negeri, kemudian dipilih jumlah yang terendah.