Setiap Wajib Pajak individu, baik yang berstatus karyawan maupun menjalankan usaha bebas, memiliki tanggung jawab untuk menghitung jumlah pajak yang sebenarnya terutang pada akhir tahun. Tujuan dari penghitungan ini adalah untuk menetapkan saldo pajak yang masih harus dibayar.
Konsep Objek Pajak Penghasilan
Objek Pajak Penghasilan merujuk pada penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak. Penghasilan ini adalah setiap bentuk tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh individu tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri. Penghasilan ini dapat digunakan untuk keperluan konsumsi atau untuk meningkatkan kekayaan Wajib Pajak, dalam bentuk dan nama apapun.
Namun, tak semua bentuk penghasilan termasuk dalam kategori Objek Pajak Penghasilan. Beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan termasuk:
1 a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan lainnya yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
1 b. harta hibahan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2 warisan;
3 penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, apabila diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak tertentu akan menjadi Penghasilan); dan
4 Penghasilan lain sebagaimana tertera dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.
Perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Langkah-langkah untuk menentukan besaran Penghasilan yang Terkena Pajak adalah sebagai berikut:
Pertama-tama, hitung semua pemasukan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Namun, pastikan untuk tidak mengikutsertakan pemasukan yang tidak termasuk dalam kategori objek pajak, serta pemasukan yang sudah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Final.
Besaran nilai dari penghasilan neto yang berhasil diperoleh dalam setahun bisa dihitung berdasarkan catatan pembukuan yang dijaga oleh wajib pajak individu yang menjalankan usaha bebas. Sementara itu, bukti potong pajak (formulir 1721) yang diberikan oleh pengusaha kepada karyawan juga dapat memberikan gambaran tentang pemasukan bersih.
Kemudian, langkah kedua adalah mengurangkan Penghasilan Kena Pajak (PTKP) dari nilai penghasilan neto tersebut. Besaran PTKP yang tidak terkena pajak untuk wajib pajak individu dapat diuraikan sebagai berikut:
- Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
- Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
- Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Besaran penghasilan tidak kena pajak ditentukan dari kondisi pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Dari hasil penghitungan tersebut kita mendapatkan besaran penghasilan kena pajak.
Tarif Pajak Penghasilan
Tarif pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
- Lapisan Penghasilan Kena Pajaksampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dikenai tarif 5%(lima persen)
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 15%(lima belas persen)
- Lapisan Penghasilan Kena Pajakdi atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dikenai tarif 25%(dua puluh limapersen)
- Lapisan Penghasilan Kena Pajakdi atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dikenai tarif 30%(tiga puluh persen)
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dikenai tarif 35% (tiga puluh lima persen).
Penyelesaian Pajak dalam Tahun Berjalan
Setelah mendapatkan nilai Penghasilan Kena Pajak dan jumlah pajak terhutang, langkah selanjutnya adalah mengurangkan pajak penghasilan hasil perhitungan dengan kredit pajak. Kredit pajak merujuk pada pajak yang telah dibayarkan sebelumnya, baik melalui pemotongan yang dilakukan oleh pihak lain ataupun pembayaran yang dilakukan secara mandiri. Hasil dari pengurangan ini adalah jumlah pajak penghasilan yang masih harus dibayar sendiri.
Contoh Perhitungan Pajak yang Harus Dibayarkan
Setelah memahami konsep di atas, mari kita simak ilustrasi berikut ini.
Kisah Bapak Leopold, seorang pekerja kantoran yang juga menjalankan bisnis perbaikan alat elektronik sebagai usaha sampingan. Beliau memiliki seorang istri dan satu anak berusia dua tahun. Penghasilan netto yang berhasil ia peroleh pada tahun ini sebesar Rp300.000.000,00. Di antara jumlah tersebut, Rp200.000.000,00 berasal dari pekerjaannya di Hydra Corp, dan Rp100.000.000,00 berasal dari bisnis perbaikan alat elektroniknya. Dalam hal penghasilannya dari Hydra Corp, Bapak Leopold telah dikenai pemotongan pajak sebesar Rp15.550.000,00 yang tertera pada bukti pemotongan pajak (formulir 1721). Sementara itu, Ibu Jemma, sang istri, adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki pemasukan.
Dengan data tersebut, kita dapat melakukan perhitungan sebagai berikut:
Penghasilan Netto Rp300.000.000,00
Penghasilan tidak kena pajak (kawin, 1 orang anak) (Rp63.000.000,00)
Penghasilan kena pajak Rp237.000.000,00
Pajak terutang
5% x Rp50.000.000,00 Rp2.500.000,00
15% x (Rp237.000.000,00-Rp50.000.000,00) Rp28.050.000,00
Total pajak terutang Rp30.550.000,00
Dengan demikian, maka pajak yang masih harus dibayar adalah sebesar:
Total pajak terutang Rp30.550.000,00
Kredit pajak (bukti potong dari Hydra Corp.) (Rp15.550.000,00)
Pajak yang masih harus dibayar Rp15.000.000,00
Realita tentang pajak yang masih harus dibayarkan tidak selalu terjadi seperti yang dialami oleh Bapak Leopold. Saldo pajak bisa memiliki berbagai nilai, dari nol hingga nilai lebih bayar. Dalam situasi di mana ada saldo pajak yang masih harus dibayarkan, wajib pajak memiliki kewajiban untuk melakukan penyetoran kekurangannya kepada kas negara. Namun, jika saldo pajak justru bernilai lebih bayar, wajib pajak mempunyai beberapa opsi. Mereka dapat menggunakan kelebihan tersebut sebagai kompensasi pada periode pajak berikutnya, atau mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.
Pembukuan dan Pencatatan
Dalam dunia keuangan, pengelolaan yang teratur sangatlah penting. Ini terwujud dalam dua konsep penting: pembukuan dan pencatatan.
Pembukuan adalah langkah struktural dalam melakukan pencatatan, dengan tujuan mengumpulkan informasi finansial. Ini mencakup berbagai hal seperti harta, kewajiban, modal, pemasukan, pengeluaran, juga jumlah harga saat pembelian maupun penjualan barang atau layanan. Semua informasi ini kemudian diolah untuk menghasilkan laporan keuangan yang meliputi neraca dan laporan laba rugi, khususnya dalam periode Tahun Pajak.
Dalam ranah Indonesia, pembukuan dijalankan menggunakan abjad Latin, angka Arab, dan mata uang Rupiah. Bahasa yang digunakan tentu saja Bahasa Indonesia, meskipun aturan lainnya bisa digunakan sesuai izin dari Menteri Keuangan.
Pelaksanaan pembukuan mengikuti sistem yang lazim di Indonesia. Standar Akuntansi Keuangan menjadi panduan umum, kecuali jika regulasi perpajakan mengamanatkan metode lain.
Sementara itu, pencatatan adalah dasar dari semua proses ini. Data-data yang terkumpul tentang peredaran dan pemasukan bruto menjadi pondasi dalam perhitungan pajak yang harus disetorkan. Ini juga termasuk penghasilan yang tidak dianggap sebagai objek pajak atau penghasilan yang dikenai pajak final.
Aturan pembukuan berlaku bagi wajib pajak yang termasuk badan usaha serta individu yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Namun, pengecualian berlaku bagi individu yang omzetnya di bawah Rp4.800.000.000,00 dalam setahun, atau jika regulasi perpajakan mengizinkan penggunaan pencatatan.
Setiap buku, catatan, dokumen, dan data elektronik yang digunakan dalam proses pembukuan wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia. Ini sesuai dengan batas waktu yang berlaku dalam penyidikan tindak pidana dalam bidang perpajakan.
Dalam mengelola keuangan, pembukuan dan pencatatan memiliki peran yang tak tergantikan. Melalui proses yang terstruktur ini, informasi yang dihasilkan membantu entitas bisnis atau individu dalam membuat keputusan yang lebih cerdas serta mematuhi kewajiban perpajakan yang berlaku.