Kewajiban Pajak Seorang Arsitek

Kewajiban Pajak Seorang Arsitek

Arsitek adalah salah satu profesi yang memiliki peran penting dalam pembangunan suatu negara. Mereka bertanggung jawab untuk merancang bangunan yang aman, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan penggunanya.

Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan oleh Dewan untuk melakukan praktik Arsitek, yaitu penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur yang meliputi perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya, serta yang terkait dengan kawasan dan kota. Pada dasarnya, Layanan Praktik Arsitek dapat berupa penyediaan jasa profesional terkait dengan penye­lenggaraan kegiatan Arsitek, termasuk yang dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya.

Sebagai profesi yang menghasilkan penghasilan, arsitek juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Kewajiban pajak arsitek diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Berikut adalah kewajiban pajak yang harus dipenuhi oleh seorang arsitek:

  • Membayar PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah pajak penghasilan yang dihitung atas perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Arsitek wajib membayar PPh Pasal 25 setiap bulan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 25.

  • Membayar PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dipotong dari penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam bentuk gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan lain-lain. Arsitek yang memiliki karyawan wajib memotong PPh Pasal 21 dari penghasilan karyawannya.

  • Membayar PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak penghasilan yang dipotong dari penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam bentuk sewa tanah dan bangunan. Arsitek yang menyewa tempat usaha wajib memotong PPh Pasal 4 ayat (2) dari pemilik tempat usaha.

  • Menyampaikan SPT Tahunan

SPT Tahunan adalah surat pernyataan yang disampaikan oleh wajib pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) setiap tahun pajak. Arsitek wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770.

  • Melakukan pembukuan

Arsitek yang memiliki penghasilan di atas Rp4,8 miliar wajib melakukan pembukuan. Pembukuan adalah pencatatan yang dilakukan secara sistematis dan teratur mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung pajak.

  • Menyampaikan SPT Masa PPN

PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau penyerahan jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean. Arsitek yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut, menyetor, dan menyampaikan SPT Masa PPN.

Arsitek yang tidak memenuhi kewajiban pajaknya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penting bagi arsitek untuk memahami kewajiban pajaknya dan memenuhinya dengan tepat.

Berikut adalah beberapa tips untuk memenuhi kewajiban pajak arsitek:

  • Pahami peraturan perundang-undangan perpajakan

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami peraturan perundang-undangan perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban pajak arsitek. Peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diperoleh dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

  • Lakukan pembukuan dengan benar

Arsitek yang memiliki penghasilan di atas Rp4,8 miliar wajib melakukan pembukuan dengan benar. Pembukuan yang benar akan memudahkan arsitek dalam menghitung pajak dan melaporkan SPT.

Gunakan jasa konsultan pajak

Jika arsitek merasa kesulitan dalam memahami peraturan perundang-undangan perpajakan atau dalam melakukan pembukuan, dapat menggunakan jasa konsultan pajak. Konsultan pajak dapat membantu arsitek dalam memenuhi kewajiban pajaknya.

Dengan memenuhi kewajiban pajaknya, arsitek telah turut berkontribusi dalam pembangunan negara dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Dasar Perhitungan Pajak

1. Arsitek yang menggunakan pembukuan maka penghitungannya penghasilan nettonya adalah:
Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto –  Biaya Usaha

2. Biaya usaha adalah biaya-biaya yang digunakan sehubungan dengan mendapatkan, menagih, dan me­melihara penghasilan.

Arsitek yang menggunakan pencatatan, tata cara penghitungan penghasilan netonya  adalah sebagai berikut:
Penghasilan Neto= %Norma x Penghasilan Bruto
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto – PTKP

PPh terutang = Tarif PPh Pasal 17 (1) huruf a x Penghasilan Kena Pajak

Lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif Pajak

  1. sampai dengan Rp 60.000.000,00 sebesar 5%
  2. di atas Rp60.000.000,00 sampai dengan Rp250.000.000,00 sebesar 15%
  3. di atas Rp250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00 sebesar 25%
  4. di atas Rp500.000.000,00 sampai dengan Rp5.000.000.000,00 sebesar 30%
  5. diatas Rp5.000.000.000,00 sebesar 35%

3. Pihak yang membayarkan imbalan jasa kepada arsitek harus melakukan pemotongan PPh 21 dengan kriteria penerima penghasilan Bukan Pegawai:

a. Apabila Arsitek memiliki NPWP dan menerima/memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat berkesinambungan maka pemotongannya adalah sebagai berikut:
DPP = (50% X Penghasilan bruto) – PTKP Per Bulan
PPh Terutang = Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X DPP

b. Apabila Arsitek menerima/memperoleh penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan atau menerima penghasilan yang berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain maka pemotongannya sebagai berikut:
DPP = 50% X Penghasilan bruto
PPh Terutang = Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X DPP

4. Apabila Arsitek memperoleh penghasilan berupa royalti maka akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Apabila Arsitek dalam menghitung Penghasilan Neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan menyampaikan Bukti Penerimaan Surat (BPS) pemberitahuan norma ke pemotong sebelum dilakukan pemotongan
PPh 23 atas royalti: 15% X 40% X Jumlah bruto royalti (sesuai ketentuan Per-1/PJ/2023)

b. Apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a
PPh 23 atas royalti = 15% X Jumlah bruto royalti

5. Arsitek akan mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21/ PPh Pasal 23 tersebut yang dapat dipergunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi PPh yang harus dibayar pada SPT Tahunan.

6. Apabila pemberi imbalan jasa  menggunakan Arsitek Asing maka diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif pajak 20% atau dengan tarif sesuai dengan tax treaty yang ber­laku.

7. Apabila Arsitek memberikan jasa ke luar negeri, maka bukti potong atas penghasilan jasa luar negeri dapat dikreditkan selama sesuai dengan peraturan perpajakan. Lebih lanjut di website pajak.go.id

Contoh Perhitungan Pajak Seorang Arsitek

Tuan Baim Wong dengan status TK/0 adalah seorang Arsitek pada bulan Maret 2022 menerima fee sebesar Rp 300.000.000,00 dari PT Pembangunan Perumahan sebagai imbalan pemberian jasa atas desain rumah proyek Bougenville Es­tate.

Bapak Baim menerima bukti potong PPh Pasal 21 sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak        = 50% X 300.000.000 = 150.000.000

PPh Pasal 21:

5%X 60.000.000                     = 3.000.000

15% X 90.000.000                  = 13.500.000

Jumlah                                    = 16.500.000

Selama Tahun 2022, Tuan Hafiz Karim memperoleh penghasilan sebagai berikut:

a Desain Rumah proyek Bougenville Rp300.000.000,00

b Desain Apartemen Nona Dewi Rp120.000.000,00

c Desain Rumah Tinggal Tuan Doni Rp80.000.000,00

Untuk Desain Apartemen Nona Dewi dan Tuan Doni tidak dilakukan pemotongan PPh 21 karena pemberi kerja adalah wajib pajak orang pribadi.

Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar Tn Baim Wong adalah sebesar:

Penghasilan Bruto: Rp500.000.000,00

Norma Penghitungan Penghasilan Neto: 50% x Penghasilan Bruto

Penghasilan Neto: Rp250.000.000,00

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0: Rp54.000.000,00

Penghasilan Kena Pajak (PKP): Rp196.000.000,00

PPh terutang:

5% X 60.000.000 = 3.000.000

15% X 136.000.000 = 20.400.000

Total PPh Terutang = Rp23.400.000,00

Kredit PPh 21: Rp16.500.000,00

PPh yang harus dibayar: Rp6.900.000,00